Siapa yang tak kenal insektisida? Hampir semua orang mengenal dan menggunakannya untuk membasmi serangga di alam sekitar yang ada dalam jumlah banyak dapat mengganggu kehidupan manusia. Namun, selain manfaatnya, beberapa insektisida berdampak negatif bagi manusia, terutama bagi kesehatan. Salah satu zat aktif berbahaya yang terkandung dalam insektisida adalah Dikloro-difenil-Trikloroetan yang lebih dikenal sebagai DDT.
Apakah DDT itu?
DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) adalah salah satu se nyawa yang dikenal sebagai jenis insektisida sintetis. DDT me rupakan bahan kimia dengan sejarah yang panjang, unik dan kontroversial. Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya bagi lingkungan hidup adalah sifat apolar DDT. Zat ini tidak larut dalam air tetapi sangat larut dalam lemak. Semakin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik), semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini menyebabkan DDT sangat mudah menembus kulit. DDT bersifat sangat stabil dan persisten. la su kar terurai sehingga cenderung bertahan di lingkungan hidup, masuk ke dalam rantai makanan (foodchain) melalui bahan le mak jaringan makhluk hidup.
DDT diproduksi secara massal tahun 1939, setelah seorang ahli kimia bernama Paul Herman Moller menemukan bahwa dengan dosis kecil DDT maka hampir semua jenis serangga dapat di bunuh. DDT membunuh dengan cara mengganggu sistem saraf mereka. Pada waktu itu DDT dianggap sebagai alternatif paling murah dan aman bila dibanding senyawa insektisida lain yang berbasis arsenik dan raksa. Tidak seorangpun yang menyadari kerusakan lingkungan yang meluas akibat pemakaian DDT.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 2.5 juta orang tewas setiap tahun akibat malaria. Wabah ini mel uas di berbagai belahan dunia. Karena DDT begitu efektif dalam membasmi nyamuk penyebab malaria, para ahli berpikir bahwa nsektisida ini menyelamatkan lebih banyak jiwa dibandingkan bahan kimia lain. Memang insektisida ini sangat ampuh, namun mengancam rantai makanan yang berakibat merugikan petani endiri. DDT yang dihisap oleh serangga yang kemudian mati kan pindah ke burung atau hewan lain yang memakannya, eperti tikus, ular dan sebagainya. Bahkan DDT juga beralih ke manusia yang mengonsumsi tanaman itu.
DT ini termasuk senyawa karsinogenik dan dapat menyebabkan anker. Banyak opini yang mengatakan bila DDT dapat menye abkan bayi lahir secara prematur dan cacat kronis.
Pada tahun 1962 Rachel Carson dalam buku yang terkenal, Silenty Spring, menjuluki DDT sebagai obat yang membawa kematian bagi kehidupan di bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi kehidupan di bumi sehingga atas rekomendasi EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat pada tahun 1972, DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973. Pengaruh buruk DDT terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di Amerika Serikat. Dari pengamatan diketahui bahwa elang terkontaminasi DDT dari makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang tercemar DDT. DDT menyebabkan cangkang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak saat dierami. Dari segi bahayanya, oleh EPA, DDT digolongkan dalam bahan racun PBT (persistent, bioaccumulative, and toxic) material. Kalau predatornya mati, otomatis serangga menjadi semakin banyak. Semakin banyak penggunaan DDT, maka akan semakin berbahaya.
DDT bersifat stabil, tidak mudah hilang, dapat bertahan lama di dalam tanah. Dapat ditularkan pula melalui udara. Banyak negara telah melarang penggunaan DDT. Begitu juga dengan RI. Departemen Pertanian RI telah melarang DDT pada tahun 1995, namun masih dipakai untuk pembasmian nyamuk malaria. Biasanya digunakan dalam FOGGING (pengasapan untuk mencegah nyamuk malaria). Makanya makanan kudu ditutup kalau ada FOGGING. Walaupun secara undang-undang telah dilarang, disinyalir DDT masih diam-diam digunakan karena keefektifannya dalam membunuh serangga. Demikian pula masih banyaknya DDT yang tersimpan, yang perlu dilenyapkan tanpa membahayakan ekosistem manusia maupun kehidupan pada umumnya merupakan permasalahan tersendiri. Sebenarnya bukan hanya DDT yang memiliki daya racun serta persistensi yang lama. Racun-racun POP lainnya juga perlu diwaspadai karena mungkin terdapat di tanah, udara maupun perairan di sekitar
kita, seperti aldrin, chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, toxaphene, hexachloro benzene, PCB (polychlorinatedbiphenyls), dioxins dan furans.
Dampak bagi kesehatan manusia
Karena kemampuannya yang lipofilik (larut dalam lemak), DDT mudah masuk ke dalam tubuh makhluk hidup melalui lemak di permukaan kulit, tak terkecuali manusia. Paparan dalam jumlah yang signifikan dapat mengakibatkan kematian. Berikut adalah tabel yang berisi efek DDT terhadap beberapa dosis berbeda
Penggunaan pestisida yang dipengaruhi oleh daya racun, volume dan tingkat pemakaian secara signifikan memengaruhi dampak kesehatan manusia. Semakin tinggi daya racun pestisida yang digunakan, semakin banyak tanda & gejala keracunan yang dialami seseorang. Risiko keracunan dapat diminimalisir apabila perilaku dan cara kerja petani yang aman dan tidak menggangu kesehatan. Misalnya dalam melakukan kegiatan pertanian seperti menyemprot pestisida, mencampur pestisida menggunakan alat pelindung diri lengkap dan menerapkan penggunaan pestisida yang benar (Isnawan, 2013).
Gejala keracunan akut pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel hati, ginjal, sistem saraf, sistem imunitas dan sistem reproduksi.
Preventif
Sebagai tindakan pencegahan untuk mengurangi risiko terpapar DDT, sebaiknya gunakan alat pelindung diri dan masker saat menyemprot pestisida yang mengandung DDT. Hal ini sangat penting mengingat kita berhadapan langsung dengan racun. Bila Anda melewati areal persawahan yang sedang disemprot insektisida, usahakan untuk menutup hidung dan mulut, dan segera basuh sampai bersih bagian tubuh Anda yang terekspos dengan udara. Hal ini untuk meminimalisir risiko masuknya residu insektisida ke dalam tubuh melalui kulit.